Periode yang Disebut "Zaman Modern"[1]
Kapankah hari kelahiran sebuah periode yang disebut 'zaman modern'? Istilah 'modern' berasal dari kata Latin 'moderna' yang artinya 'sekarang', 'baru' atau 'saat kini' (Jerman: Jetztzeit). Atas dasar pengertian asli ini kita bisa mengatakan bahwa manusia senantiasa hidup di zaman 'modern', sejauh kekinian menjadi kesadarannya. Banyak ahli sejarah menyepakati bahwa sekitar tahun 1500 adalah hari kelahiran zaman modern di Eropa. Sejak itu, kesadaran waktu akan keyakinan muncul di mana-mana. Lalu, pernyataan ini tidak menyiratkan bahwa sebelumnya orang tidak hidup di masa kini. Lebih tepat mengatakan bahwa sebelumnya orang kurang menyadari bahwa manusia bisa mengadakan perubahan-perubahan yang secara kualitatif Baru. Oleh karena itu 'modernitas' bukan hanya menunjuk pada periode, melainkan juga suatu bentuk kesadaran yang terkait dengan kebaruan (Inggris: newness). Karena itu, istilah perubahan, kemajuan, revolusi, pertumbuhan adalah istilah-istilah kunci kesadaran modern. Pemahaman tentang modernitas sebagai suatu bentuk kesadaran itu lebih mendasar daripada pemahaman-pemahaman yang bersifat sosiologis ataupun ekonomis. Dalam pemahaman pemahaman terakhir ini orang menunjuk tumbuhnya sains, teknik dan ekonomi kapitalistis sebagai ciri-ciri masyarakat modern. Berbeda dari pemahaman-pemahaman sosiologis dan ekonomis, pemahaman kita di sini bersifat epistemologis: Yang kita minati bukan perubahan institusional sebuah masyarakat, melainkan perubahan bentuk-bentuk kesadaran atau pola-pola berpikirnya.
Sebagai bentuk kesadaran, modernitas dicirikan oleh tiga hal, yaitu: subjektivitas, kritik, dan kemajuan. Dengan subjektivitas dimaksudkan bahwa manusia menyadari dirinya sebagai subjectum, yaitu sebagai pusat realitas yang menjadi ukuran segala sesuatu. Ilustrasi berikut mungkin dapat memperjelas konteks lahirnya subjektivitas modern. Dalam karyanya yang termasyhur Die Cultur der Renaissance in Italien (Kebudayaan Renaisans di Italia, 1859) sejarawan Swiss, Jacob Burckhardt, menjelaskan bagaimana manusia dalam masyarakat abaci pertengahan lebih mengenali dirinya sebagai ras, rakyat, partai, keluarga atau kolektif Lewat modernisasi yang dimulai di Italia di zaman Renaisans manusia lebih menyadari dirinya sebagai individu. "Menjelang akhir abad ke- 13", tulisnya," sekonyong konyong Italia dipenuhi oleh pribadi-pribadi; penghalang individualisme telah dibobol; ribuan wajah individual menspesialisasikan dirinya tanpa batas." Kemajuan ekonomi dan terutama seni di Italia sangat besar andilnya dalam peningkatan kesadaran akan subjektivitas ini. Di dalam filsafat kita mendengar pernyataan Descartes yang sangat termasyhur, cogito ergo sum (saya berpikir maka saya ada). Pernyataan itu adalah formulasi pada kesadaran zaman modern yang terus dipertahankan bahkan sampai abad ke-20 ini bahwa manusia (individu) bisa mengetahui kenyataan dengan rasionya sendiri. Di abad ke-19, Marx, dengan ilham dari Hegel, menegaskan bahwa manusia adalah subjek sejarah (Jerman: Subjekt der Geschichte), yaitu bahwa manusia tidak hanyut dipermainkan waktu, melainkan perancang sejarahnya sendiri. Dengan demikian subjektivitas dipahami dalam matra historisnya.
Elemen selanjutnya adalah kritik. Kritik sudah implisit dalam pengertian subjekivitas itu, sejauh dihadapkan dengan otoritas. Dengan kritik dimaksudkan bahwa rasio tidak hanya menjadi sumber pengetahuan, melainkan juga menjadi kemampuan praktis untuk membebaskan individu dari wewenang tradisi atau untuk menghancurkan prasangka-prasangka yang menyesatkan. Di zaman Pencerahan, Kant merumuskan kritik sebagai keberanian untuk berpikir sendiri di luar tuntunan tradisi atau otoritas. Dia sendiri mengatakan "terbangun dari tidur dogmatis", yaitu: kemampuan kritis rasio membuatnya bebas dari prasangkaprasangka pemikiran tradisional. Subjektivitas dan kritik pada gilirannya mengandaikan keyakinan akan kemajuan (Inggris: progress). Dengan kemajuan dimaksudkan bahwa manusia menyadari waktu sebagai sumber langka yang tak terulangi. Waktu dialami sebagai rangkaian peristiwa yang mengarah pada satu tujuan yang dituju oleh subjektivitas dan kritik itu.
Filsafat abad modern pada pokoknya ada 3 aliran:[2]
1) Aliran Rasionalisnze dengan tokohnya Rene Descartes (1596 -1650 M).
2) Aliran Empirisme dengan tokohnya Francis Bacon (1210-1292 M).
3) Aliran Kristicisme dengan tokohnya Immanuel Kant (1724-1804M).
1. Rasionalisme
Descartes di samping tokoh Rasionalisme juga dianggap sebagai bapak aliran filsafat Modern. Ia tidak puas dengan filsafat Scholastik karena dilihatnya sebagai saling bertentangan, dan tidak ada kepastian. Adapun sebabnya karena tak ada metoda berpikir yang pasti. Descartes mengemukakan metoda barn yaitu metoda keragu-raguan. Jika orang ragu-ragu terhadap segala sesuatu, dalam keragu-raguan itu jelas ia ada sedang berpikir. Sebab yang sedang berpikir itu tentu ada dan jelas terang benderang. Cogito Ergo Sum saya berpikir maka jelaslah bahwa saya ada.
Adapun sumber kebenaran ialah rasio. Hanya rasio sajalah yang dapat membawa orang kepada kebenaran. Yang benar hanyalah tindakan akal yang terang-benderana yang disebutnya Idaes Claires et Distincte.s' (pikiran yang terang-benderang dan terpilah-pilah. Idea terang,-benderang ini pemberian Tuhan sebelum orang dilahirkan (idea innatae = ide bawaan).
Karena rasio saja yang dianggap sebagai sumber kebenaran, maka aliran ini disebut Rasionalisme. Adapun pengetahuan indera dianggap sering menyesatkan.
Penganut aliran Rasionalisme yang lain di antaranya yang terutama: Blaise Pascal (1623 — 1662 M), Nicole Malehranche (1678-1718M), Spinoza (1632-1677M) dan Leibniz (1646-1716 M).
2. Empiris
Bertentangan dengan Rasionalisme yang berpendirian bahwa sumber pengenalan/pengetahuan adalah rasio, sehingga pengenalan inderawi merupakan pengenalan yang kabur saja, aliran Empirisme berpendapat bahwa pengetahuan bersumber dari pengalaman, sehingga pengenalan inderawi merupakan pengenalan yang paling jelas dan sempurna.
Francus Bacon (1210-1292 M) berpendapat: pengetahuan yang sebenarnya adalah pengetahuan yang diterima orang melalui persentuhan inderawi dengan dunia fakta. pengiaman merupakan sumber pengetahuan yang sejati. Pengetahuan haruslah dicapai dengan induksi. Kata Bacon selanjutnya: Kita sudah terlalu lama dipengaruhi oleh metoda deduktif. Dari dogma-dogma diambil kesimpulan. Itu tidak benar. Haruslah kita sekarang memperhatikan yang konkrit, mengelompokkan, itulah tugas ilmu pengetahuan.
Thomas Hobbes (1588 — 1679 M) berpendapat: Pengalaman inderawi sebagai permulaan segala pengenalan. Hanya sesuatu yang dapat disentuh dengan inderalah yang merupakan kebenaran. pengetahuan intelektual (rasio) tidak lain hanyalah merupakan penggabungan data-data inderawi belaka.
Pengikut aliran Empirisme yang lain di antaranya: John Locke (1632-1704 M), David Hume (1711 — 1776 M), Gorge Berkeley (1665 — 1753 M).
3. Kriticisme
Pendirian aliran Rasionalisme dan Empirisme sangat bertolak belakang. Rasionalisme berpendirian bahwa rasiolah sumber pengenalan atau pengetahuan, sedang Empirisme sebaliknya berpendirian bahwa pengalamanlah yang_ menjadi sumber tersebut.
Immanuel Kant (1724-1804 M) berusaha mengadakan penyelesaian atas pertikaian itu dengan filsafatnya yang dinamakam Kristicisme (aliran yang kritis). Untuk itulah ia menulis tiga bukunya berjudul, Kritik der Reinen Vernunnft (kritik atas rasio murni), Kritik der Urteilskraft (kritik atas daya pertimbangan).
Menurut Kant,.dalam pengenalan inderawi selalu sudah ada dua bentuk apriori, yaitu ruang dan waktu. Kedua-duanya berakar dalam strutur subyek sendiri. Memang ada suatu realitas terlepas dari subyek yang Mengindera, tetapi realitas (das dine an sich = benda dalam dirinya) tidak pernah dikenalinya. Kita hanya mengenal gejala-gejala yang merupakan sintesa antara hal-hal yang datang dari luar (aposteriori) dengan bentuk ruang dan waktu (apriori)
[1]F. Budi Hardiman, Filsafat Modern, Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama, 2007, hal. 2-4
[2]Ahmad Syadali dan Muzakir, hal. 102-104
EmoticonEmoticon